Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Kendaraan otonom nampaknya memiliki kecenderungan berbahaya ketika menghadapi situasi berbahaya. Hal ini terungkap melalui penelitian bertajuk “Bisakah Anda menebak-nebak? Mengevaluasi efek isyarat augmented reality pada prediksi bahaya pengemudi” yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan di Universitas Glasgow, Skotlandia.
Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pengemudi mobil otonom tidak bisa bereaksi cepat saat terjadi tabrakan. Hal ini terjadi karena fokus pengemudi beralih ke penumpang biasa.
“Membiarkan mobil mengambil kendali sementara pengemudi fokus pada hal lain menunjukkan adanya perubahan peran dari pengemudi ke penumpang,” demikian riset yang dikutip Autocar, Sabtu (8/6/2024).
Para peneliti di Glasgow mengatakan pergeseran peran ini semakin dipicu oleh perubahan pola pikir pengemudi mobil otonom. Pengemudi mobil otonom cenderung mengalami rasa bosan dan kehilangan konsentrasi karena terganggu oleh aktivitas lain selama berada di dalam mobil otonom. Mobil otonom generasi berikutnya Baidu, Apollo RT6 Baidu, diluncurkan pada peluncuran di Beijing, Tiongkok pada Rabu, 20 Juli 2022. – (AFP/Noel Celis)
Alih-alih fokus mengamati kondisi jalan raya, pengemudi mobil otonom malah mengarahkan pandangannya ke aktivitas lain. “Mereka bosan, kehilangan kesadaran terhadap kondisi jalan raya, dan bereaksi terlalu lambat terhadap perubahan mendadak di lingkungan kita,” penelitian tersebut menekankan.
Meski pengemudi mobil otonom melihat kondisi jalan raya, reaksi mereka seringkali terlambat. Menurut penelitian, fenomena ini disebut “melihat tapi tidak melihat”.
Kondisi ini terjadi karena pengemudi kendaraan otonom kehilangan kontak dan kendali terhadap kendaraannya. “Mata pengemudi sebenarnya tidak mampu memproses apa yang sebenarnya terlihat di depannya,” jelas penelitian tersebut.
Untuk mengatasi kekurangan tersebut, peneliti dari Universitas Glasgow menyarankan kehadiran teknologi augmented reality (AR). Teknologi ini diperkenalkan untuk tetap menjaga fokus pengemudi mobil otonom.
Teknologi tersebut diyakini dapat membantu pengemudi kembali fokus berkendara dalam keadaan darurat dengan cepat. Untuk menguji teori tersebut, tim peneliti melakukan eksperimen laboratorium dan mengendarai mobil simulasi melalui layar khusus.
Layar menampilkan serangkaian 40 klip video. Peserta harus melakukan salah satu dari dua tugas sambil memakai headset augmented reality.
Pada akhirnya mereka melakukan simulasi seolah-olah sedang mengendarai mobil otonom. Jadi terkadang mereka mengalihkan pandangan dari jalan dan melakukan hal lain.
Dalam satu skenario, video berhenti tepat sebelum potensi bahaya muncul. Misalnya saja pejalan kaki yang akan tertabrak kendaraan otonom.
Peserta kemudian harus memilih salah satu dari empat prediksi tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, berdasarkan pemahaman mereka terhadap kondisi sebelum video berakhir. Dampaknya, pengemudi tidak mampu bereaksi cepat dan akurat terhadap potensi bahaya yang terjadi.
Situasinya berbeda ketika augmented reality digunakan. Pengemudi menunjukkan kesadaran yang lebih baik dan berkinerja lebih baik dalam situasi head-up dibandingkan head-down.
“Saran dari hal ini adalah ada area di mana kita dapat melakukan pekerjaan lain sambil terus menjaga kondisi jalan yang terus berkembang, daripada mengabaikan sepenuhnya saat berada di jalan,” studi tersebut menyimpulkan.