Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nampaknya sedang menebar angin di dunia media Indonesia. Sesaat setelah Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2024, DPR menghebohkan jurnalis Indonesia dengan RUU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Salah satu poin kontroversialnya, pasal 50 B ayat (2) huruf c mengatur tentang standar isi publikasi (SIS), salah satu poinnya adalah larangan publikasi khusus jurnalisme investigatif. DPR berdalih jurnalisme investigatif dapat mengganggu proses penyidikan dan penyidikan penegakan hukum.

Lantas, apakah pertanyaan wartawan benar-benar melampaui kewenangannya? Padahal, Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai hal tersebut tidak terjadi. Menurut Kejagung, tugas jurnalis dan petugas berbeda.

“Tidak ada yang tersinggung, beda-beda perannya. Yang satu publikasi, yang satu lagi pro keadilan. Malah sering kita terlalu banyak mendapat informasi dari media,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) di Kejaksaan Agung. kata Kejaksaan Agung Ketut Sumedana saat dihubungi prestasikaryamandiri.co.id, Jumat (17/5/2024).

Sesuai kesepakatan dengan Kejaksaan Agung, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga menilai jurnalis dan petugas memiliki tugas yang berbeda. Investigasi yang dilakukan polisi berbentuk Scientific Crime Investigation (SCI). Sementara itu, jurnalis investigatif mengandalkan tanggung jawab media untuk mengungkap kebenaran. Kompolnas menilai keduanya tidak saling mengganggu.

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan, “Padahal dengan pelarangan jurnalisme investigatif menunjukkan cara berpikir yang salah karena menggabungkan investigasi pro-keadilan dan sidik jari penyidik ​​Polri dan PPNS dengan jurnalisme investigatif yang dilakukan oleh jurnalis yang sederajat.”

Poengky juga tidak setuju dengan anggapan DPR yang menyebut jurnalisme investigatif bisa mempengaruhi opini publik. Apalagi masyarakat Indonesia kini mudah terpengaruh oleh arus informasi.

“Buktinya jurnalisme investigatif sudah ada sejak lama baik di Indonesia maupun di negara lain, namun tidak menghambat kerja kepolisian. Begitu pula opini publik yang berubah, tidak semua orang terpengaruh oleh jurnalisme investigatif, ujarnya.

Kompolnas, kata Poengky, sebenarnya memandang jurnalisme investigatif sebagai alat bantu kerja kepolisian. Daripada mencari pengakuan bersalah melalui metode penyiksaan.

“Ada kalanya produk jurnalisme investigatif justru menjadi bahan penegakan hukum untuk mengusut dugaan tindak pidana. Jadi jangan langsung menyimpulkan bahwa jurnalisme investigatif mengganggu penyidikan polisi,” ujarnya.

Senada dengan Kejaksaan Agung dan Kompolnas, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan jurnalis tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili terpidana.

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *