Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Tuntutan ojek online (ojol) dan kurir, khususnya yang berstatus hukum pekerja ojol dan kurir, terjadi pada aksi unjuk rasa Kamis lalu (29 September 2024). Namun, para pengamat ekonomi menilai persyaratan tersebut akan berdampak buruk bagi para pekerja itu sendiri.
Nailul Huda, Kepala Bidang Ekonomi Digital Center for Economic and Legal Studies (Celios), mengatakan ojol, salah satu kelompok pekerja tidak tetap atau tidak tetap, sebenarnya fokus pada fleksibilitas jam kerja.
“Saya memahami kebutuhan mereka dan itu bisa saja berujung pada status pekerja bagi para pengemudi taksi online agar mereka bisa mendapatkan hak-hak yang mereka inginkan, tapi masalahnya begitu mereka berstatus pekerja, tidak lagi dalam bentuk kontrak, tidak lagi. Kalau ada fleksibilitas kerja, boleh datang,” kata Nailul, Jumat (30/8/2024) di Jakarta.
Ia menambahkan, formalisasi ojek dan kurir dapat membuat para tukang ojek terjebak pada pekerjaan rendahan tanpa adanya kesepakatan untuk mengembangkan keterampilannya.
Oleh karena itu, permasalahan sebenarnya bukan pada statusnya sebagai angkutan umum. Sebab, sejak awal tidak menjadi persoalan apakah basis ojek itu angkutan umum atau bukan.
Isu legalisasi ojek sudah merebak sejak tahun 2023, ketika Kementerian Sumber Daya Manusia (Kemenaker) mengajukan usulan Permenaker untuk Ojek secara online. Mayoritas tukang ojek saat itu menolak pembatasan jam kerja maksimal 12 jam.
“Pembatasan waktu kerja akan merugikan kami karena tidak fleksibel,” kata Ketua Gograber Indonesia Ferry Budhi saat melakukan protes di luar gedung Kementerian Sumber Daya Manusia di Jakarta baru-baru ini.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, disepakati seluruh ketentuan dan status pohon ek, termasuk kesejahteraan pengemudi pohon ek, akan diatur secara legal di tingkat hukum.
“Ada usulan yang bagus agar ada undang-undang. Kami setuju dengan penerapannya. Kami juga sangat prihatin dengan tuntutan para tukang ojek,” kata Budi.
Menurut Budi, harus ada ketentuan hukum yang melindungi dan mensejahterakan pengemudi ojek. Pasalnya, jumlah armada ojek saat ini sangat tinggi sehingga mempengaruhi transportasi umum dan konektivitas masyarakat.
“Apa yang mereka dapatkan (pendapatan ojek) sangat dibutuhkan keluarga, termasuk penyandang disabilitas. Kami mengapresiasinya,” ujarnya.
Saat ini, UU No. 22 Tahun 2019 tentang Angkutan Jalan dan Lalu Lintas (LLAJ) belum mengatur penggunaan kendaraan roda dua sebagai angkutan umum untuk mengangkut orang atau barang. Ketentuan mengenai kendaraan roda dua saat ini hanya diatur dalam ketentuan setingkat peraturan Kementerian, yaitu. J. berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan no. 12 tahun 2019.