JAKARTA, prestasikaryamandiri.co.id – Pemerintah di Asia Tenggara mendesak peningkatan kewaspadaan menyusul kekacauan di Suriah, ketika pasukan pemberontak berhasil merebut kendali dari pemerintahan Bashar al-Assad. Para analis percaya bahwa kerusuhan di Suriah mungkin dimanfaatkan oleh kelompok teroris, yang dapat menimbulkan ancaman keamanan di wilayah tersebut.
“Situasi di Suriah sangat fluktuatif dan rawan konflik. Ade Bakhti, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Radikalisasi dan Devolusi (PAKAR), mengatakan kepada CNA pada Kamis (19/12/2024), “Kelompok teroris ini di masa lalu telah digunakan untuk merekrut pengikut dan mendapatkan dukungan baru.
Perang saudara di Suriah yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade telah membuka jalan bagi terbentuknya Front al-Nusra, yang merupakan afiliasi dari ISIS dan Al-Bazaa. Kedua kelompok tersebut telah menarik ratusan pejuang asing dari Asia Tenggara dan meradikalisasi ribuan orang di Indonesia, Malaysia dan Filipina.
Hayat Tahir al-Sham (HTS), kelompok pemberontak yang saat ini menguasai Damaskus, dibentuk pada tahun 2017 sebagai koalisi beberapa faksi, termasuk al-Nusra. Meski menyangkal ada kaitannya dengan jaringan teroris, HTS masih diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh PBB dan banyak negara.
Menurut media pemerintah Suriah, pemimpin koalisi HTS, Ahmed al-Shara, mengumumkan rencana untuk membubarkan kelompok bersenjata tersebut dan memindahkan pejuangnya ke Kementerian Pertahanan. Namun, belum jelas apakah semua kelompok bersenjata akan menyetujui tindakan tersebut.
ISIS yang dulunya menghadapi ancaman global dengan jaringan yang luas, kini melemah setelah kekalahannya di Suriah pada tahun 2019.
Aizat Shamsuddin, pendiri inisiatif toleransi Initiate.my yang berbasis di Malaysia, mengatakan: “Jika ketidakstabilan di Suriah terus berlanjut, pengaruh ISIS mungkin tidak dapat dibendung.
ISIS juga menolak langkah HTS untuk hidup berdampingan dengan kelompok agama minoritas dan bersikeras bahwa mereka tidak akan menerima pemerintahan baru di Damaskus jika mereka tidak memimpinnya.
Ketidakpastian semakin meningkat mengenai sikap pemerintahan baru AS di bawah kepemimpinan Donald Trump yang berencana menarik 1.000 tentara AS dari Suriah. Dukungan internasional terhadap Suriah terancam berkurang, dan pemerintahan transisi yang lemah harus menghadapi ancaman teroris sendirian.
Para analis memperingatkan bahwa jika langkah tersebut benar-benar terjadi, negara-negara Asia Tenggara harus bersiap menghadapi potensi penyebaran ekstremisme akibat kerusuhan di Suriah. Kerja sama regional dalam melawan ancaman radikalisasi menjadi lebih penting dari sebelumnya.