Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Pada tanggal 20 Oktober 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi Presiden keenam Republik Indonesia. Sebagai Presiden RI ke-5 saat itu, Megawati Sukarnoputri tidak menghadiri acara pelantikan di gedung DPR/MPR. Ini menandai konflik antara dua tokoh yang dianggap tokoh berpengaruh di kancah politik Indonesia pasca reformasi.

Dalam Jejak Pemimpin (2014) yang ditulis Hanta Yoda dan tim pengikut politik Indonesia, Megawati mengaku tak mau menghadiri pelantikan SBY karena merasa ditusuk dari belakang oleh SBY.

“Kalau orang lain, Amin Reyes, Presiden, Veranto, siapa pun itu, saya pasti datang, tapi kalau dia (SBY) tidak bisa karena dia menusuk saya dari belakang,” kata Megawati.

Tanda-tanda konflik antara Megawati dan SBY sebenarnya sudah ada sebelum reformasi tahun 1996. SBY yang saat itu menjabat Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) Jaya diyakini terlibat. Penyerangan markas PDI pada 27 Juli 1996 atau disebut dengan peristiwa Kudatoli.

Peristiwa ini merujuk pada peristiwa penyitaan paksa kantor DPP Partai Demokrat Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta. Pendudukan tersebut dilakukan oleh gerombolan pendukung Surjadi dengan dukungan aparat negara yang dipimpin oleh Ketua Harian Megawati Sukarnoputri.

Penyerangan terhadap kantor PDI bukan merupakan peristiwa tunggal, melainkan akibat rangkaian peristiwa yang merusak stabilitas Orde Baru. Hal ini bermula ketika Megawati terpilih menjadi Ketua Umum PDI pada tahun 1993 dalam konvensi yang diadakan di Asrama Haji Scolilo Surabaya.

Pemerintahan Orde Baru menolak mengakui kepemimpinan Megawati, sehingga terus berupaya memecah belah PDI. Puncaknya, pemerintah mendukung Surajdi dalam menyelenggarakan kongres saingan PDI di Medan pada bulan Juni 1996, yang kemudian mengangkat Surajdi sebagai Ketua Umum PDI, yang diakui pemerintah.

Setelah reformasi, SBY dan Megawati berada di pemerintahan yang sama di bawah presiden keempat Indonesia, Abdul Rahman Wahid. Megawati menjabat sebagai Wakil Presiden Gus Dover, sedangkan SBY menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi (29 Oktober 1999–28 Agustus 2000) dan Menteri Politik, Sosial, dan Keamanan (28 Agustus 2000–1 Juni 2001). .

Pasca pengunduran diri Gus Dorr pada 23 Juli 2001 dan penggantiannya sebagai presiden oleh Megawati, SBY menjadi salah satu calon wakil presiden pada pemilihan wakil presiden MPR pada 26 Juli 2001. usulan -KKI kalah suara dari Akbar Tanjung (yang dicalonkan Golkar) dan Hamza Haz (yang dicalonkan PPP) di putaran kedua.

Hamzah Haz akhirnya menjadi calon Megawati. Meski demikian, Megawathi tetap mengundang SBY ke dalam pemerintahannya. SBY ditunjuk menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di Kabinet Koalisi Megawati-Hamzah.

Masuknya SBY ke dalam kabinet Megawati-Hamzah awalnya mendapat tentangan dari elite politik PDIP yang menganggap SBY sebagai pemain dalam insiden Qadatoli. Selain itu, SBY juga merupakan anak dari Siro Edhi Waibo yang diyakini pernah berselisih dengan Presiden Sukarno, ayah Megawati, pada masa orde lama.

Sekretaris Jenderal PDIP Histo Cristiano dalam keterangan tertulisnya pada 17 Februari 2021 mengatakan Megawati tetap menunjuk SBY sebagai Menko Polhukam karena mengedepankan semangat rekonsiliasi dan persatuan bangsa.

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *