Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Perusahaan memasak kerap menggunakan label “No Pork No Lard” untuk menginformasikan bahwa produknya tidak mengandung daging babi atau lemak babi. Namun, apakah ini berarti produk tersebut halal?
Muti Arintawati, Direktur Jenderal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), menegaskan label yang digunakan tidak bisa dijadikan jaminan kehalalan suatu produk.
Muti menjelaskan, setiap usaha makanan dan minuman wajib memiliki sertifikat halal sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Khusus kategori makanan dan minuman, batas waktu terakhirnya adalah 17 Oktober 2024.
Amanat ini mewajibkan seluruh pelaku usaha makanan dan minuman untuk segera mendapatkan sertifikasi Halal. Apabila tidak dipatuhi akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan terkait.
Muti juga menjelaskan, penggunaan label “No Pork No Lard” sudah ada sejak lama, ketika pemerintah tidak mewajibkan sertifikat halal. Tujuannya untuk memastikan produk yang dijual tidak mengandung daging babi dan produk turunannya serta memudahkan pilihan konsumen.
Namun sertifikasi halal tidak hanya menjamin bahan baku seperti daging tidak berasal dari daging babi, tetapi mencakup keseluruhan proses, distribusi, penyimpanan, pengolahan, penggunaan alat penunjang produksi.
Setiap langkah dalam menyajikan makanan kepada pelanggan harus benar-benar memenuhi standar halal sesuai syariah. Oleh karena itu, restoran wajib memperoleh sertifikat halal dan memajang sertifikat halal di depan tempat usahanya.
Misalnya daging sapi bisa dibeli secara Islami atau tidak, tidak ada jaminan. Indonesia sudah punya undang-undang yang menjamin produk halal, kata Muti, dilansir Antara, Kamis (10/03/2024).
Muti menegaskan, setelah penerapan wajib kebijakan sertifikasi halal ini mulai 17 Oktober 2024, seluruh restoran yang belum memiliki sertifikasi halal akan mendapat pemberitahuan. Sedangkan untuk UMKM diberikan waktu 2 tahun lagi.