Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, menjelaskan risiko dan konsekuensi meningkatnya konflik di Timur Tengah menyusul serangan Iran terhadap epidemi sektor jasa keuangan Israel. Menurutnya, konflik yang terjadi di Timur Tengah saat ini berdampak pada stabilitas harga minyak dan perdagangan internasional, yang pada akhirnya berdampak psikologis pada pasar saham, obligasi, dan nilai tukar.
“Saat ini, berdasarkan perkembangan saat ini, risiko tersebut berdampak pada harga minyak, yang kemudian berdampak pada perdagangan internasional serta dampak psikologis terhadap perkembangan pasar, pasar saham, obligasi, dan nilai tukar. Kami mendapat nilai e yang besar.” “Kami memperhatikan dan memperhitungkan,” ujarnya saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (17 April 2024).
Sementara itu, ia mengatakan dampak konflik Timur Tengah terhadap sektor jasa keuangan masih relatif kecil.
“Apa yang kami lihat dalam hal eksposur terhadap ekuitas, saham, dan kepemilikan investor yang terkait langsung dengan Timur Tengah di sektor jasa keuangan umumnya dapat diabaikan,” jelasnya.
Di sisi lain, di saat yang sama, Mahendra menyaksikan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS).
“Pada saat yang sama, kami melihat di belahan dunia lain, kami melihat inflasi dan pertumbuhan ekonomi di AS jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya,” tambahnya.
Namun, menurutnya, munculnya isu Timur Tengah bisa berdampak pada kemampuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dalam menurunkan suku bunga acuannya pada 2024. Mahendra menilai kemungkinan penurunan suku bunga tidak akan besar. dari asumsi sebelumnya. Hal yang sama berlaku untuk frekuensi penurunan suku bunga.
“Tentu saja hal ini akan berdampak pada isu Timur Tengah dan kemungkinan The Fed menurunkan suku bunganya pada tahun ini tidak sebesar perkiraan dan prakiraan sebelumnya,” ujarnya.
“Suku bunga yang lebih tinggi dari perkiraan pada paruh kedua tahun ini tampaknya menjadi skenario yang lebih cerah di masa depan,” katanya.
Secara paralel, pihaknya juga mencermati pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebagai mitra dagang strategis Indonesia.
“Kami akan mempertimbangkan faktor paralel selain pertumbuhan ekonomi Tiongkok, kami juga akan mempertimbangkannya sebagai mitra dagang utama Indonesia,” ujarnya.
Meski demikian, Mahendra mengatakan pihaknya harus mempertimbangkan secara matang segala skenario dan kemungkinan yang muncul.
“Tapi tentu saja kita harus hati-hati melihat skenario yang berbeda dan kita juga harus melihat masing-masing lembaga keuangan,” tutupnya.