Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Satuan Tugas Khusus Pengusaha Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tengah mengkaji keberlanjutan Program Penetapan Harga Spesifik Gas Bumi (HGBT) yang telah berjalan sejak April 2020.
Kurnia Chairi, Wakil Direktur Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas, mengatakan pihaknya rutin membahas keberlanjutan program HGBT. Namun, dia tidak menjelaskan isi pembicaraan tersebut.
“Ini sedang berjalan, pembahasan dan evaluasi (soal stabilitas program HGBT) sedang berjalan. Kami belum bisa mengungkapkan banyak (isi pembahasannya),” kata Kurnia saat ditemui di kantor SKK Migas di Jakarta, Jumat ( 14/6/2024).
Kurnia enggan menanyakan apakah program tersebut akan membebani keuangan negara. Menurut dia, ada perbedaan antara HGBT dan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG).
Sebagaimana diketahui, evaluasi program HGBT dilakukan setelah pemerintah kehilangan pendapatan yang sangat besar akibat rendahnya harga gas (di bawah pasar), yaitu US$6/mmbtu. Targetnya adalah tujuh sektor tertentu, yaitu pupuk. , petrokimia, kimia minyak, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet. Sejak diluncurkannya program ini, pemerintah telah kehilangan lebih dari Rp45,06 triliun pendapatan negara.
“Ini kompensasi, bukan beban pemerintah kan? Ada perbedaan tarif HGBT dan PJBG,” tutupnya.
Pada tahun 2021 hingga 2023, menurut perkiraan SKK Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, nilai hilangnya pendapatan negara di sektor migas akibat program HGBT sebesar Rp45,06 triliun. Lebih spesifiknya, pendapatan pemerintah tahun anggaran 2023 sekitar $1 miliar atau Rp15,67 triliun, 2021 – Rp16,46 triliun, dan 2022 – Rp12,93 triliun.
Pada saat yang sama, selama hampir 4 tahun, kementerian terkait belum memberikan informasi nyata mengenai dampak ekonomi dari industri yang menggunakan gas murah.