Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Di antara industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang menutup lapangan kerja, Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Indonesia (Apsyfi) Jenderal Redma Gita Wirawasta mengemukakan dua alasan utama.
Berdasarkan catatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), sepanjang Januari hingga Mei 2024, sebanyak 20 hingga 30 pabrik berhenti beroperasi. Dampaknya, 10.800 pekerja akan menerima PHK. Jumlah ini akan bertambah pada tahun 2023, ketika industri pakaian jadi akan melakukan outsourcing terhadap lebih dari 7.200 pekerja di pusat bisnis di wilayah Bandung dan Surakarta.
Alasan pertama, menurut Redm, dibalik produksi industri TPT adalah overpressure terhadap produk TPT asal China. Kelebihan pasokan ini merupakan dampak dari situasi geopolitik di Rusia dan Ukraina, serta perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
“Bahkan setelah adanya Covid-19, industri sandang kita meningkat terutama pada triwulan I tahun 2022 sebesar 8%. Naik menjadi 13% pada triwulan III. Pasalnya, meski ekspor sulit, impor juga sulit. Jadi produk lokal masuk ke pasar lokal,” ujarnya.
Namun tren ini mulai menurun setelah meluasnya produk Tiongkok, di pasar Eropa akibat perang Rusia-Ukraina dan perang dagang dengan AS.
Diakui Redma, produk China tersebut dijual dengan harga yang sangat murah dibandingkan produk lokal.
Dengan masuknya produk China ke pasar dalam negeri, masyarakat akan memilih produk yang lebih murah karena kondisi perekonomian sudah pulih dari pandemi Covid-19.
“Tahun 2023 fenomena ini masih akan terus terjadi. Oleh karena itu, produk dalam negeri dibatasi (sulit diekspor), sedangkan produk impor tetap ada. Kita tidak bicara produk tekstil legal. Semuanya berkumpul di pasar lokal,” lanjutnya.
Alasan kedua yang dikemukakan Redma adalah banyak produk TPT yang diimpor ilegal dijual di bawah harga grosir (HPP). Hal ini mengakibatkan industri TPT menekan biaya produksi dengan mengurangi jumlah tenaga kerja.
“Kalau bicara produk legal, mereka tunduk pada undang-undang keamanan atau peraturan komersial, tetapi dalam kasus barang non-komersial, mereka tidak diatur. Mau tidak mau, bisnis kami harus menjual di bawah COGS jika itu adalah untuk bertahan hidup. Hal ini akan membuat banyak bisnis melemah bahan bakunya, tapi saat itu mulai mengurangi kapasitas pekerjanya,” jelasnya.
Redma menegaskan, jika pemerintah tidak segera menyelesaikan masalah tersebut, maka gelombang PHK di industri TPT akan terus meningkat.
Klaim tersebut didukung oleh data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN) pada Januari hingga Juni 2024 yang menunjukkan adanya PHK besar-besaran di 10 pabrik garmen. Enam pabrik tersebut tutup, empat sisanya PNS. Jumlah pekerja yang terdampak sebanyak 13.800 orang.
“Gelombang deportasi ini masih terus berlanjut hingga saat ini dan sepertinya tren ini akan terus berlanjut di masa depan kecuali pemerintah melakukan tindakan besar untuk menghentikannya,” kata Redma.