Pekanbaru, prestasikaryamandiri.co.id – Ibarat terjatuh dari tangga. Hal inilah yang menimpa Shinta Oftiant, ibu korban kekerasan di Pondok Pesantren Darul Quran (Pohnpesi), Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau. Dia diinterogasi setelah pihak pesantren melaporkannya ke Bareskrim Polsek Kampar karena pencemaran nama baik. Shinta dikabarkan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Shinta diperiksa pada Rabu (30/10/2024) menyusul laporan pihak ponpes. Shinta Ofifant dipanggil penyidik ​​Divisi III Reskrim Polres Kampar terkait dugaan tindak pidana pencemaran nama baik di media sosial yang dilaporkan ke Pondok Pesantren Darul Quran.

Kapolsek Kampar AKBP Ronald Sumaja mengatakan, korban melaporkan dugaan penganiayaan tersebut ke Polda Riau. Sementara pihak pesantren yang meyakini ada unsur fitnah melapor ke Polsek Kampar.

“Tentu saja pengaduan atau laporan apa pun akan kami tindak lanjuti dari awal, dimulai dari penyelidikan. Nanti kita lihat apakah unsurnya terpenuhi. Kalau iya, tentu akan kami tindak lanjuti.” kata AKBP Ronald Sumaja kepada wartawan saat peluncuran program pemberian makan Asta Cita di Kecamatan Tambang, Kampar, Riau, Rabu (6/11/2024).

Ronald mengatakan dalam hal ini ada sebab dan akibat. Ada sejumlah pernyataan di media sosial yang dinilai merugikan pesantren. Pihaknya sejauh ini telah memeriksa empat orang saksi dan sedang mencari keterangan dari pakar IT.

“Tentunya perlu ditanyakan kepada ahli bahasa apakah kata-kata di media sosial itu mengandung unsur penghinaan atau pencemaran nama baik. Jadi ini masih proses penyelidikan, perlu waktu dan kami mohon rekan-rekan bersabar. ini benar.masalahnya,” kata Ronald.

Sementara itu, sebagai koresponden Pondok Pesantren, ia diminta memberikan keterangan kepada Polsek Kampar. “Ya, kami mengikuti. Namun hal ini masih dalam pendalaman karena memerlukan gelar dan koordinasi dengan ahli untuk informasi terkait IT terlebih dahulu. UU ITE yang kita pakai, tentunya setelah ada hasil gelarnya kita tentukan ‘bisa berkembang atau tidak’,” kata Ronald.

Menurut Ronald, pihaknya menangani kasus ini secara profesional. Setiap laporan atau keluhan dari masyarakat harus dipertimbangkan.

“Semua permasalahan terbuka untuk mediasi atau restorative justice. “Karena prinsip inti kami adalah hukum dan ketertiban, maka kepolisian adalah pilihan terakhir,” pungkas Ronald.

Shinta disebut melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berdasarkan laporan polisi nomor LP/B/192/VIII/2024/SPKT/Polres Kampar/Polda Riau tanggal 13 Agustus 2024.

“Saya ikut serta dalam pemanggilan polisi Campari dalam kasus pidana yang dibuka oleh pesantren tempat anak saya pernah bersekolah. Saya sangat menyayangkan hal ini terjadi karena anak saya menjadi korban. Demikian yang saya tulis di jejaring sosial.” fakta tentang apa yang terjadi. Benar kekerasan itu terjadi di pesantren,” kata Shinta kepada prestasikaryamandiri.co.id.

Sementara itu, Ketua DPP Lembaga Bantuan Hukum Tuah Negri Nusantara Suardi selaku kuasa hukum korban menilai, dugaan laporan tersebut merupakan upaya kriminalisasi terhadap orang tua yang memperjuangkan keadilan bagi anaknya.

Menurutnya, Pondok Pesantren Darul Quran lebih berpihak pada kekerasan ketimbang melindungi korbannya. Gurban Fahri terkena dampak fisik dan psikis akibat di-bully oleh atasannya di pesantren.

“Sebelum kasus ini terungkap, klien kami telah mencoba menyelesaikan permasalahannya dengan bertemu langsung dengan pihak pesantren. Namun pihak Pondok Pesantren dinilai tidak jujur ​​dalam mempertimbangkan kasus ini.

Menurut dia, pihak pesantren bahkan menjerat korban dengan berbagai tuduhan, seperti mencapnya sebagai anak nakal, mesum, bahkan menuduhnya melakukan pencurian.

Tuduhan ini dianggap eskalasi dan memberikan kesan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar, kata Suardi.

Menanggapi laporan Pondok Pesantren Darul Quran, Tim Penasehat Hukum akan segera mengajukan pengaduan kepada pengurus Pondok Pesantren dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kekerasan tersebut.

Pengaduan ini akan disampaikan ke Polda Riau dan diteruskan ke Mabes Polri, Kementerian Agama RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi III DPR, LPSK, dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia ( LPAI),” ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Fahri Arian Siyaputra (13) diduga dianiaya atasannya pada 31 Juli 2024 dengan surat A dan R. Korban mengaku sempat ditendang dan diinjak oleh pelaku hingga mengakibatkan luka lebam di bagian pipi dan kepala. Fahr dirawat selama tiga hari di RS Pecanbaru Panama City, lalu diperiksa oleh psikiater di RS Jiwa Tampa.

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *