Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Anna Nurulia, guru asal Butan, Sulawesi Tenggara, tak kuasa menahan tangis saat bertemu langsung dengan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi umat Katolik dunia, di Katedral Jakarta, Rabu (9). /4). /2024) malam.

Anna, seorang relawan di Scholas Occurrentes, mengaku banyak belajar tentang toleransi dari Islam dan dari gerakan pendidikan Scholas Occurrentes yang dimulai oleh Paus Fransiskus.

“Hari ini bukan hanya sebuah pengalaman bagi saya tetapi sebuah transformasi yang luar biasa, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya pergi ke katedral dan menjadi bagian darinya,” kata Anna sambil menangis saat pertemuan antara Paus Fransiskus dan anak-anak Scolus Okorientes. . .

Saat itu, Anna memperkenalkan dirinya kepada Paus Fransiskus sebagai dosen, pengasuh anak, dan penyiar radio. Anna mengaku banyak berperan dalam setiap aspek kehidupannya untuk mengisi dunia pendidikan dan menyebarkan pesan pentingnya pendidikan untuk mengentaskan kemiskinan.

Anna sangat terharu hingga akhirnya berdiri di hadapan Paus Fransiskus dan Katedral Jakarta.

“Anehnya masjid (Istiklal) tempat saya biasa beribadah ada tepat di depan saya. Itu simbol toleransi dimana kita harus menghadapi perbedaan dan berani,” ujarnya.

Anna menegaskan, ia belajar toleransi melalui agamanya, Islam, dan skolastik. Bahkan, ia belajar di sekolah Scholas untuk melihat dunia dari pinggir jalan.

“Para ulama, dalam sistem pendidikannya, melatih saya untuk melihat dunia dari pinggir jalan, penduduk kota yang miskin, anak-anak (yang menangis) yang harus bersekolah, siapa yang harus disekolahkan,” kata Anna. menangis

Scholas Occurrentes adalah gerakan pendidikan internasional yang diluncurkan secara global oleh Paus Fransiskus pada tahun 2013. Gerakan pemuda untuk mencapai perubahan sosial melalui pendidikan ini dimulai oleh Paus Fransiskus sebelum ia menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik.

Anna percaya bahwa Chola mengajarkan orang untuk hidup dengan materi dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Menurutnya, Indonesia membutuhkan kelompok seperti Scholas dan Fasilitator untuk menciptakan generasi yang tidak hanya pintar tapi juga bahagia.

“Sebagai seorang guru, saya percaya bahwa kurikulum harus mempunyai visi dan misi yang sama yaitu kebebasan belajar,” tutupnya. 

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *