Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Guru dan siswa merupakan kelompok masyarakat yang kerap terjerat pinjaman kredit online (pinjol) macet. Hal ini disebabkan karena guru dan siswa belum memiliki literasi keuangan yang baik. Hal ini sungguh ironis di tengah Indonesia yang sedang mempersiapkan generasi emas untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Pemerintah harus mendorong literasi keuangan bagi guru dan siswa melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga keuangan. Hal ini membuat mereka berpikir panjang dan keras ketika ingin mengajukan pinjaman di Pinjol, karena sudah mengetahui untung ruginya.
Konsultan pendidikan Mohammad Amin memperkirakan guru dan siswa tertarik meminjam karena literasi keuangan yang sangat rendah. Padahal, kemampuan literasi guru dan siswa harus tinggi.
“Banyak guru yang tertarik meminjam karena aksesnya sangat mudah, cepat, tidak rumit dan rahasia. Saat ini 42-43% guru menjadi korban pinjaman,” Amin dikutip Investor Daily, Rabu (8/5/2024).
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (FSA), guru menyumbang 42% dari kredit bermasalah, sementara pelajar menyumbang 3%, yang merupakan bagian terbesar dari kelompok masyarakat lainnya.
Salah satu solusi bagi guru adalah dengan meningkatkan kesejahteraan guru, termasuk tunjangan. Hal ini akan memperkuat basis keuangan para pendidik sehingga mereka tidak mudah tergiur dengan pinjaman yang sebagian besar menawarkan proses pencairan pinjaman yang mudah.
Amin menambahkan, kenaikan gaji guru juga bisa menjadi solusi. Berapapun gaji guru, selama literasi keuangan masih rendah maka kasus hutang akan kembali muncul.
Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan utama adalah sosialisasi literasi keuangan di kalangan guru. Mereka harus diajarkan cara mengatasi permasalahan keuangan. Karena kenaikan gaji guru tidak menjamin kasus terjerumus utang akan hilang, jelasnya.
Dalam konteks ini, semua pihak baik pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Per Februari 2024, jumlah pinjaman teknologi finansial peer-to-peer (P2P) mencapai Rp61 triliun, naik dari Rp60,1 triliun pada Januari, menurut data OJK. Jumlah rekening peminjam mencapai 16,6 juta.
Dari jumlah itu, rasio kredit macet atau 90-day default rate (TWP90) mencapai 2,95%. Kredit macet mayoritas ditujukan kepada kaum muda sebanyak 269.118 rekening dengan nilai Rp 693 miliar per Februari 2024.
Urutan kedua adalah usia 35-45 tahun sebesar Rp532 miliar, disusul usia di atas 54 tahun sebesar Rp127 miliar, dan usia di bawah 19 tahun sebesar Rp1,92 miliar.
Sedangkan nilai pinjaman jangka panjang (30-90 hari) di fintech P2P lending mencapai Rp 4,1 triliun. Sekali lagi, kelompok usia 19-34 tahun menjadi kontributor terbesar dengan total Rp 2,1 triliun untuk 1 juta jiwa, disusul usia 35-54 tahun sebanyak Rp 1,7 triliun, usia di atas 54 tahun sebanyak Rp 268 miliar, dan usia di bawah 19 tahun. 21,5 miliar