Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudiarta mendukung penguatan dan peningkatan reformasi budaya dan struktural atau revolusi mental untuk mencegah terulangnya konflik antara TNI dan Polri. Menurut Wayan, bentrokan TNI AL dan Brimob di Sorong pada 14 April 2024 merupakan ujian keharmonisan TNI dan Polri di tengah ego sektoral masing-masing lembaga.
“Saya melihat permasalahan ego sektoral ini sebagai PR besar bagi negara kita yang harus dijawab dengan reformasi budaya dan struktural atau revolusi mental dengan mengutamakan peningkatan kualitas pendidikan dan membangun integritas sumber daya manusia,” kata Wayan kepada wartawan. Selasa. (2024-04-16).
Diakui Wayan, gesekan antar lembaga atau partai dalam mengatur negara ini sulit dihindari sepenuhnya. Selain itu, kata dia, terkait dengan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, seperti TNI dan Polri, atau instansi terkait lainnya di daerah.
Namun hal ini terkait dengan bagaimana masing-masing pihak memilih untuk mengedepankan rasa tanggung jawab terhadap moral dan etika bangsa berdasarkan falsafah, nilai-nilai Pancasila dan kaidah hukum, serta rasa kekeluargaan atau gotong royong yang sudah menjadi budaya. kekayaan bangsa Indonesia,” ujarnya.
Menurut Wayan, konflik TNI dan Polri seringkali menjadi contoh ego sektoral. Pasalnya, TNI dan Polri memiliki esprit de corps yang mengedepankan persatuan, solidaritas, dan kecintaan terhadap institusi serta rela berkorban.
Artinya, bentrokan ini merupakan persoalan yang tidak akan hilang selama kedua belah pihak mengedepankan jiwa ras dalam arti sempit.
“Semangat korps seperti Tri Brata dan Catur Prasetya harus dipahami sebagai semangat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara atau negara kesatuan Republik Indonesia atau NKRI,” ujarnya.
Selain ego sektoral, Wayan juga membeberkan beberapa faktor yang bisa menimbulkan konflik antara TNI dan Polri. Yang pertama, kata dia, dari sudut pandang politik adalah aturan yang memangkas tugas dan wewenang.
Memang banyak peraturan yang bertujuan untuk menggabungkan kedua kekuatan besar tersebut untuk menyelesaikan permasalahan tertentu, seperti pengamanan objek penting, pencegahan dan pemberantasan terorisme, serta pemeliharaan keamanan dan ketertiban di kawasan.
“Hal ini selalu berdampak pada penyediaan sumber daya yang selalu seperti kompetisi atau persaingan. Pergesekan kewenangan dan fungsi ini memang merupakan respon terhadap kekurangan sumber daya pada sektor atau daerah tertentu, namun menjadi sebuah paradoks karena memiliki dampak yang besar. berdampak pada persinggungan keduanya di lapangan dan tidak mengherankan jika hal ini mengakibatkan “seperti konflik kekerasan yang panjang,” jelasnya.
Kedua, kata Wayan, lemahnya pengawasan dan penegakan peraturan yang seharusnya menerapkan prinsip reward and punishment atau meritokrasi agar menimbulkan efek jera. Ketiga, menyederhanakan masalah akibat kesalahpahaman.
Menurut Wayan, siapa pun yang terlibat konflik, apalagi jika ada korban sipil, harus ditindak tegas dengan tindakan tegas dan penanganannya harus transparan.
“Masyarakat menilai penanganan dan penghukuman terhadap anggota TNI-Polri yang melakukan kekerasan, apalagi menimbulkan korban sipil, harus diperhatikan. Statusnya harus dilihat secara serius seperti dalam hukum pidana yang berlaku bagi masyarakat umum,” Wayan menyimpulkan. .