Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Hari Bumi diperingati pada tanggal 22 April setiap tahunnya. Peringatan ini merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang perlindungan lingkungan, alam, dan kesehatan Bumi. Apalagi saat fast fashion sedang menjadi tren yang mengkhawatirkan.

Istilah “fast fashion” mengacu pada pakaian yang diproduksi dengan cepat, murah dan meniru gaya terkini dari catwalk, yang kemudian dengan cepat didistribusikan ke toko-toko.

Fast fashion melibatkan desain, produksi, distribusi dan pemasaran yang cepat, memungkinkan pengecer menawarkan berbagai macam produk dengan harga murah. Istilah ini pertama kali menjadi populer pada tahun 1990an ketika merek seperti Zara, UNIQLO, Forever 21 dan H&M memasuki pasar.

Tapi bagaimana fast fashion mempengaruhi lingkungan? Di bawah ini adalah penjelasannya.

1. Konsumsi air yang sangat tinggi Dampak lingkungan dari fast fashion adalah menipisnya sumber daya tak terbarukan, seperti emisi gas rumah kaca, serta tingginya konsumsi air dan energi.

Fesyen merupakan industri konsumsi air terbesar kedua dan dibutuhkan sekitar 700 galon air untuk memproduksi satu kemeja katun dan 2.000 galon untuk memproduksi celana jins.

Dikutip dari Business Insider, pewarnaan tekstil merupakan pencemar air terbesar kedua di dunia, karena air sisa proses pewarnaan seringkali dibuang ke selokan, sungai atau sungai.

2. Polusi mikroplastik Banyak merek menggunakan serat sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai. Laporan Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) pada tahun 2017 memperkirakan bahwa 35% dari seluruh potongan kecil plastik yang tidak dapat terurai di lautan berasal dari pencucian tekstil sintetis seperti poliester.

3. Limbah dari energi tak terbarukan Produksi serat plastik pada tekstil merupakan proses intensif energi yang membutuhkan minyak dalam jumlah besar dan melepaskan partikel dan asam yang mudah menguap seperti hidrogen klorida.

4. Menggunakan kapas berdampak buruk bagi lingkungan Kapas banyak digunakan dalam fast fashion dan proses pembuatannya juga tidak ramah lingkungan. Pestisida yang dianggap penting dalam penanaman kapas menimbulkan risiko kesehatan bagi petani.

5. Pakaian fast fashion menjadi pemborosan Dengan harga pakaian yang terjangkau dan tren yang membujuk konsumen untuk membeli lebih banyak, nilai pakaian di mata konsumen bisa menurun. Laporan terkini menunjukkan bahwa 62 juta metrik ton pakaian dikonsumsi secara global pada tahun 2019 dan terus berkembang pesat.

Meskipun hal ini mungkin baik bagi perekonomian, lebih banyak barang yang cenderung berakhir di tempat pembuangan sampah. Pakaian berkualitas rendah akan rusak setelah beberapa kali dicuci. Bagaimanapun, seseorang akan membeli lebih banyak baju baru dengan kualitas yang sama.

6. penggunaan viscose Pada tahun 1890, viscose atau viscose diperkenalkan ke dalam produksi sebagai alternatif yang lebih murah daripada kapas. Rayon merupakan serat selulosa yang biasanya terbuat dari pulp kayu. Serat ini mempunyai dampak yang sangat berbahaya terhadap lingkungan, seperti penggunaan bahan kimia berbahaya dan sumber yang tidak etis.

Karena perusahaan-perusahaan ini menggunakan bahan kimia beracun, perusahaan lain khawatir akan dampak non-lingkungan. Misalnya saja karbon disulfida yang digunakan dalam produksi serat viscose menyebabkan efek samping yang fatal terhadap kesehatan pekerja.

7. Polusi karbon Fesyen bertanggung jawab atas 10% dari seluruh emisi karbon dan jika tidak ada perubahan, maka akan menjadi 26% pada tahun 2050.

Sebagai perspektif, industri ini berkontribusi lebih besar terhadap perubahan iklim dibandingkan gabungan perjalanan udara dan pelayaran internasional. Dampak lingkungan dari fast fashion terhadap emisi karbon terutama disebabkan oleh produksi material, produksi, transportasi, pembakaran stok yang tidak terjual dan pakaian yang dibuang.

8. Hutan hancur dan habitat alami terancam. Hal ini terutama disebabkan oleh bahan kimia yang digunakan dalam produksi kapas, pembukaan hutan untuk diambil serat kayunya atau pembuatan padang rumput untuk domba dan kambing untuk diambil wolnya, serta penggembalaan yang berlebihan.

Hilangnya hutan dan hutan hujan berbahaya bagi satwa liar dan masyarakat adat. Sementara itu, degradasi lahan dan deforestasi berkontribusi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan.

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *