Probolinggo, prestasikaryamandiri.co.id – Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTBNTS) Jawa Timur baru-baru ini mengembalikan nama tiga destinasi di kawasan Gunung Bromo ke nama aslinya sesuai dengan tradisi suku Tenger.

Salah satu destinasi yang dikembalikan namanya adalah Bukit Teletabisa yang kini dikenal kembali dengan nama aslinya, Lembah Watangan. Bukit ini terletak di sisi selatan Gunung Bromo dan merupakan bagian dari provinsi Probolingo, Lumajang dan Malang. 

Saat musim hujan, bukit seluas hampir seratus hektar ini berubah menjadi hijau dan menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan, selain kawah Bromo.

Nama asli Lembah Watangan berasal dari sejarah Suku Laut. Menurut sejarah masyarakat Tengger, sekitar seribu tahun yang lalu, kawasan ini banyak ditumbuhi pohon asli Tengger. Seiring berjalannya waktu, banyak pohon-pohon tua yang tumbang sehingga tempat ini dinamakan Lembah Vatangan, dimana “watang” berarti pohon dalam bahasa Tanger.

Selain Lembah Watangan, dua destinasi lain di kawasan Bromo juga kembali mendapatkan nama aslinya. Bukit Cinta kini dikenal dengan nama Lemah Pasar sedangkan Bukit Kingkong kembali ke nama aslinya Bukit Kedaluh.

Nama Kedaluh berasal dari bahasa Sansekerta yaitu ‘keda’ yang berarti kerinduan dan ‘luh’ yang berarti pemberi hujan atau Dewa Indra. Oleh karena itu, Kedaluh dapat diartikan “siapa yang memberi hujan, ia tidak ada”, Deva Indra.

Langkah mengembalikan nama tersebut disambut baik oleh wisatawan.

Untung saja kembali ke nama aslinya, bukan Bukit Teletubbies, kata Tivy, pengunjung Bromo, Selasa (20/08/2024).

Presiden Paruman Dukun Tengger Sutomo mengucapkan terima kasih kepada BBTBNTS atas keputusan tersebut. Ia berharap destinasi lain di Bromo seperti Pasir Berbisnis yang nama aslinya Pusung Gede bisa dibuka kembali.

– Semoga nama aslinya bisa dikembalikan di destinasi lain di Bromo. “Karena nama-nama asli ini punya sejarah,” ujarnya.

Sutomo meminta pelaku wisata tidak sembarangan menyebutkan nama destinasi tanpa persetujuan suku laut demi menghormati budaya setempat.

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *