Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Dua negara lain di Afrika, Guinea Khatulistiwa dan Tanzania, telah melaporkan kasus Marburg dalam setahun terakhir. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa epidemi ini, dengan angka kematiannya yang tinggi, dapat menjadi epidemi.
Virus Marburg merupakan virus mematikan penyebab demam berdarah. Virus ini termasuk dalam keluarga yang sama dengan virus Ebola dan ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi dan dari hewan seperti kelelawar buah.
Penyakit Marburg merupakan demam berdarah langka yang menyerang manusia dan primata lainnya, termasuk monyet dan kera. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus Orthomarburg yang juga dikenal sebagai virus Marburg atau virus Raven. Gejalanya bisa muncul secara tiba-tiba, berupa demam, ruam, dan pendarahan hebat.
Virus Orthomarburg terjadi secara alami pada kelelawar roset Mesir (Roussetus aegyptiacus) dan dapat ditularkan dari kelelawar ke manusia. Penyakit Marburg paling umum terjadi di Afrika Sub-Sahara.
TINDAKAN PENCEGAHAN Untuk mencegah penyebaran virus Marburg, perlu dilakukan hal-hal berikut, lapor CDC pada Selasa (1/10/2024).
1. Hindari kontak dengan darah dan cairan tubuh pasien.
2. Hindari kontak dengan air mani orang yang telah sembuh dari penyakit Marburg sampai tes menunjukkan bahwa virus tersebut telah hilang dari air maninya.
3. Jangan memegang barang-barang yang mungkin bersentuhan dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi.
4. Hindari kontak dengan kelelawar rosset Mesir dan primata non-manusia di daerah endemik penyakit Marburg.
Perawatan dan Pemulihan Jika Anda sudah tertular virus Marburg, Anda dapat beristirahat, menghidrasi, mengontrol kadar oksigen dan tekanan darah, serta mengobati infeksi sekunder.
Karena saat ini belum ada pengobatan yang disetujui untuk penyakit Marburg. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengadakan pertemuan para ahli untuk membahas kemungkinan vaksin dan pengobatan untuk virus tersebut.
“Kami sedang berupaya untuk menguji vaksin dan pengobatan sesegera mungkin,” kata Michael Ryan, direktur Program Kedaruratan Kesehatan WHO, seperti dikutip NPR.
Ryan mengatakan, langkah selanjutnya adalah mengadakan pertemuan untuk menyusun kerangka hukum uji klinis tersebut.