Washington, prestasikaryamandiri.co.id – Departemen Luar Negeri AS pada Kamis (18 Juli 2024) melarang mantan sersan Pasukan Pertahanan Israel memasuki negara itu karena terlibat dalam pembunuhan seorang warga Palestina di Tepi Barat.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller menekankan bahwa pihaknya juga memberlakukan pembatasan visa terhadap sekelompok orang yang terlibat dalam kegiatan yang merusak perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Tepi Barat. Sikap ini merupakan langkah terbaru AS dalam menanggapi kekerasan di Tepi Barat.
“Ini tentang tren kekerasan yang kita lihat dalam beberapa bulan terakhir dan perlunya Israel berbuat lebih banyak untuk meminta pertanggungjawaban masyarakat atas kekerasan tersebut,” kata Miller kepada wartawan.
Miller mengatakan Sersan Elor Azaria dipenjara karena keterlibatannya dalam pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Azaria, yang membunuh seorang warga Palestina yang terluka dan tidak berdaya, dijatuhi hukuman 18 bulan penjara pada tahun 2017. Dia dibebaskan setelah sembilan bulan.
Langkah pencegahan ini dilakukan setelah Washington pada bulan Mei menyalahkan lima unit pasukan keamanan Israel atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Miller mengatakan langkah yang diambil departemennya sudah tepat untuk penegakan hukum. Dalam kasus pelanggaran HAM berat, seperti kasus Azaria, AS harus memberikan sanksi.
Tindakan keras pemerintahan Joe Biden terhadap pemukim Israel telah membuat marah anggota sayap kanan koalisi berkuasa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang mendukung perluasan pemukiman Yahudi dan pada akhirnya aneksasi Tepi Barat.
Setelah perang Timur Tengah pada tahun 1967, Israel menduduki Tepi Barat Sungai Yordan, yang ingin dijadikan oleh Palestina sebagai inti negara merdeka. Israel telah mendirikan pemukiman Yahudi di sana yang dianggap ilegal di sebagian besar negara. Israel menyangkal hal ini, dengan alasan adanya hubungan historis dan alkitabiah dengan negara tersebut.
Pada bulan Februari, pemerintahan Joe Biden menyatakan bahwa pemukiman tersebut tidak mematuhi hukum internasional, menandai kembalinya kebijakan lama AS mengenai masalah ini yang dibatalkan oleh pemerintahan sebelumnya, Donald Trump dari Partai Republik.