Jakarta, prestasikaryamandiri.co.id – Hari libur nasional dan cuti kelompok jangka panjang hanya boleh diberikan kepada pekerja pada hari-hari tertentu saja, yakni hari raya keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal. Hal tersebut diungkapkan Sapta Nirwanda, pakar pariwisata sekaligus mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif (Wamenparekraf).

“Kenapa dua hari? Karena itu terjadi pada tanggal dan hari tertentu dalam seminggu. Apalagi tidak banyak parpol yang mendapat kesempatan ini,” ujarnya kepada prestasikaryamandiri.co.id, Senin (20 Mei 2024).

Sapta menjelaskan, perpanjangan cuti pada saat cuti sebenarnya dimaksudkan untuk memperlancar lalu lintas, mengurangi titik kemacetan, dan mengatur arus pulang dan pulang pekerja ke kampung halaman dan beraktivitas. Oleh karena itu, perjanjian liburan ini sangat diperlukan mengingat besarnya populasi dan jutaan orang yang datang ke wilayah tersebut.

“Tidak semua hari libur atau tanggal merah ada pembagian cuti. Jika hal ini diterapkan, banyak perusahaan dan institusi di Tanah Air yang bisa bangkrut. “Saya pikir kita perlu memikirkan kembali aturan cuti jangka panjang, termasuk cuti bersama, atau negara ini bisa berada dalam masalah.”

Menurut Sapta, hari libur non-keagamaan tidak perlu diatur bahkan mungkin dibatasi. Hal ini untuk memastikan karyawan dapat bekerja sesuai jam kerjanya.

Jika setiap tanggal merah atau hari raya digabung dengan libur panjang berkelompok, maka produktivitas Indonesia akan semakin terpuruk dan semakin tertinggal. Hal ini dapat mempengaruhi daya saing dan produktivitas pekerja Indonesia.

“Saya punya teman yang menjalankan perusahaan yang beberapa karyawannya sering mengambil cuti karena peraturan pemerintah. Banyaknya hari libur nasional dan liburan kelompok yang mengganggu aktivitas bisnis. Dia harus bisa mendapat penghasilan, tapi “harus menggaji karyawannya yang kurang produktif,” ujarnya.

Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) yang juga Ketua Indonesia Tourism Forum (ITF) ini menjelaskan, sesuai kebijakan pemerintah, liburan jangka panjang (group holiday) sebenarnya sudah termasuk hak warga negara.

Jika liburan menjadi kebijakan nasional, maka akan lebih mudah bagi masyarakat untuk mengambilnya. Namun perlu dibandingkan seberapa tepat masa liburan tersebut, apakah 2-3 hari atau hingga seminggu.

“Di negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam, masyarakat lebih memilih untuk mengurangi waktu berlibur dan bekerja karena mereka masih membutuhkan uang dan penghasilan melalui pekerjaan. Tidak mungkin waktu liburan lebih banyak dibandingkan bekerja,” kata Sapta.

Di negara maju, orang dianggap bekerja keras pada hari Senin sampai Jumat dan umumnya tidak bekerja pada akhir pekan (Sabtu sampai Minggu). Namun di negara yang kondisinya belum stabil seperti Indonesia, masih ada masyarakat yang tetap bekerja di hari Sabtu untuk mencari nafkah. Oleh karena itu, aturan libur jangka panjang harus diperhatikan dengan matang.

“Ini sangat menyulitkan perusahaan industri dan manufaktur yang harus menjalani libur panjang. Jadi, secara umum, jangan gunakan semua hari libur. Liburan memerlukan uang. “Kalau hari raya banyak, uangnya dari mana?” tanya Sapta.

Meski demikian, Sapta mengakui banyaknya hari raya dan hari raya bisa meningkatkan pariwisata dan hiburan. Namun jika tidak dibatasi maka pengusaha akan mengalami kerugian karena pekerja menjadi kurang produktif.

“Sektor pariwisata mengalami peningkatan jumlah konsumen yang signifikan karena hari libur nasional dan pembatasan liburan. Itu sudah pasti. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah wisatawan yang bepergian ke luar kota dan luar negeri,” jelasnya.

Banyak wisatawan asal Indonesia yang berwisata ke luar negeri selama 3 hingga 4 hari bersama ke Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Turki saat liburan.

“Tapi ini hanya berlaku untuk kelas menengah. Hal ini membantu mereka yang mampu untuk pergi berlibur, terutama karena semakin banyak orang yang melakukan perjalanan dibandingkan membayar rumah atau membeli properti untuk masa depan. Ini berbeda.” “Ini adalah masa-masa awal ketika orang ingin membeli rumah dan mobil setelah bekerja,” kata Sapta.

Ia berpendapat peraturan tersebut perlu ditinjau ulang karena hanya menguntungkan satu sektor: pariwisata. Namun perlu dikaji ulang apakah pariwisata internasional atau pariwisata domestik memberikan lebih banyak manfaat.

“Masyarakat kelas atas yang kini jumlahnya relatif besar, lebih memilih jalan-jalan ke luar negeri dibandingkan berlibur ke daerah seperti Labuan Bajo, Ternate, Tidore, Papua, dan Maluku,” tutup Sapta.

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *